Skip to main content

Awal berdirinya kerajaan Badung Bali


Berdasarkan sumber – sumber sejarah, bekas atau bukti-bukti peninggalan masa lampau dapat diketahui, bahwa yang kemudian menjadi wilayah Kerajaan Badung berdasarkan  tempat ditemukannya artefak,  diantaranya : Prasasti Blanjong di Sanur  yang berangka  tahun  913 Masehi. Pura Maospahit Grenceng dan Tonja, Sumerta pada abad ke-14. Bukti peninggalan artefak Pura dengan langgam arsitekturnya, institusi dan lain – lainnya memberikan fenomena kehidupan komunitas  yang sudah teratur pada jaman itu.

Dari sisi bentang alam, wilayah Badung bercirikan kawasan agraris dan dikelilingi pantai yang cocok untuk pelabuhan, aktivitas perdagangan laut yang cukup tua usianya (Kuta, Sanur). Produksi kerajinan seperti gerabah (penyobekan) juga menunjukkan corak kuno seperti yang masih dibuat di Desa Lumintang.



1) Ekspedisi Patih Majapahit ( Gajah Mada ) disertai Para Arya ke Pulau Bali dalam usaha mempersatukan wilayah Nusantara. Khususnya Arya Damar (Adityawarman) yang menurunkan Kerajaan Tabanan dan Badung




1.1) Arya Damar (Adityawarman)

Dalam beberapa abad di Jawa dan Bali, Arya Damar juga dikenal dengan nama “Adityawarman” dan merupakan sepupu sedarah dari pihak ibu dengan Raja Majapahit kedua, yaitu “Sri Jayanagara” atau Raden Kala Gemet. Arya Damar diperkirakan lahir tahun 1294M dari seorang ibu bernama Dara Jingga dari Kerajaan Campa. Di Sumatra ayah beliau dikenal dengan nama Adwaya Warman sedangkan di Jawa lebih dikenal dengan nama Adwaya Dewa Brahma. Pada waktu ekspedisi Majapahit ke Bali tahun 1343 beliau diperkirakan berusia 50 tahun sehingga sudah sewajarnya mempunyai putra yang sudah menginjak dewasa dan ikut serta berperang membantu ayahnya.

Dalam ekspedisi Majapahit Ke Bali, Gajah Mada mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyerang Bali. Ekspedisi Gajah Mada ke Bali terjadi pada tahun 1343 dengan Candrasangkala “Caka isu rasaksi nabhi” (anak panah, rasa, mata pusat). Pasukan Majapahit dipimpin oleh Patih Gajah Mada sendiri bersama panglima perang Arya Damar serta dibantu oleh beberapa Arya lainnya. Dari beberapa Arya tersebut, terdapat 3 putra dari Arya Damar yaitu Arya Kenceng, Arya Belog dan Arya Delancang.

Setelah berhasil menyatukan Bali dalam wilayah Kerajaan Majapahit, Arya Damar kembali ke Majapahit bersama-sama Patih Gajah Mada dan melanjutkan ekspedisi menyatukan Nusantara hingga akhirnya menjadi penguasa di “Malayapura” yang akan selanjutnya keraton dipindahkan ke pedalaman Minangkabau.

Di Negeri Minangkabau beliau lebih dikenal dengan gelar “Adityawarman”. Beliau meninggalkan ketiga putra beliau diBali dengan membangun puri-puri (keraton) untuk ketiga putra-putranya. Arya Kenceng membangun Puri Buahan Tabanan yang selanjutnya membangun Puri Tabanan. Arya Belog membangun Puri KabaKaba Tabanan, dan Arya Delancang membangun Puri di Kapal.



1.2) Arya Kenceng

Institusi di tingkat supra desa terbentuk berupa wilayah yang dikepalai oleh Anglurah dan kemudian menjelma menjadi Raja. Proses demikian dapat dilacak awalnya pada abad ke-14 ketika terjadi ekspedisi Majapahit yang dipimpin oleh Mahapatih Gajah Mada bersama dengan para Arya pada tahun 1343. Salah seorang Arya yang memegang peranan dalam membangun institusi kerajaan di Badung dan Tabanan ialah Arya Kenceng. Dia adalah salah seorang Arya Ksatriyeng Kahuripan yaitu keturunan Raja Kahuripan di Jawa Timur (Raja Purana Kenceng; K.M Suhardana, 2006, 44-45).

Ketika ekspedisi Majapahit digelar, Arya Kenceng menjadi Panglima untuk menyerang laskar Kerajaan Bedahulu diBali dari arah Selatan. Setelah ekspedisi berhasil Arya Kenceng tinggal menetap di Desa Buahan diTabanan (Babad Tabanan, Usana Jawa, Gora Sirikan, II). Beliau menikah dengan seorang Brahmani dari ketepenggreges dan dikaruniai putra bernama Arya Yasan.


1.3) Arya Yasan

Arya Kenceng berkuasa di Tabanan menikah dengan seorang keturunan Brahmana dari Ketepengreges Majapahit. Buah perkawinannya lahir seorang putra diberi nama Arya Yasan. Arya Yasan kawin dengan Gusti Ayu Pacung  adik Arya Sentong dari Pacung Carangsari menurunkan 2 orang putra dan seorang putri bernama : Kyayi Putu, Kyayi Wagus Alit dan seorang putri.

Oleh Dalem di Gelgel, Kyayi Wagus Alit diberi hadiah tempat tinggal di desa Buahan Tabanan dan kepada kakaknya yang bernama Kyayi Putu diberi hadiah tempat tinggal di desa Buahan diBangli karena jasa-jasanya dan kesetiaannya kepada Dalem Gelgel.


1.4) Kyayi Wagus Alit

Tidak diceritakan perjalanan hidup dari Kyayi Wagus Alit pada saat berada di desa Buahan Tabanan, tetapi beliau dilaporkan mempunyai seorang putra yang diberi nama Arya Pucangan.


1.5) Arya Pucangan

Arya Pucangan mempunyai dua orang putra yang bernama Arya Magada Prabu, dan Arya Magada Nata.


1.6) Arya Magada Nata

Ketika Arya Magada Nata memasuki usia lanjut, beliau juga membangun tempat peristirahatan di Kubon Tingguh. Di Desa itu sempat kawin dengan putri Bendesa Buahan di Kubon Tingguh. Buah perkawinannya lahir seorang putra diberi nama Kyayi Ketut Bendesa.

Ketika terjadi kekosongan penguasa di Puri Penatih maka atas titah Dalem di Gelgel kepada Arya Magada Nata untuk memperkenankan adiknya yang bernama Kyayi Tegeh menjadi penguasa.

Dalem menyetujui Kyayi Tegeh menjadi pengganti I Gusti Ngurah Penatih dengan gelar Kyayi Tegeh Kori, yang kemudian menetap di Puri Tegeh Kori di daerah Tegal. Kyayi Tegeh Kori menjadi penguasa di Badung.


1.7) Kyayi Ketut Bendesa (Notor Wandira)  => Mendirikan Puri Alang Badung (didaerah Tegal)

Menginjak dewasa Kyayi Ketut Bendesa kelihatan tanda-tanda kesaktiannya yaitu dahinya memancarkan sinar. Pernah diuji kesaktian oleh kakaknya yang bernama Kyayi Anglurah Rangwang. Kepada adiknya (Kyayi Ketut Bendesa) diminta untuk menebang dahan ranting pohon beringin yang angker dan tumbuh disebelah Puri. Atas tugas yang sukses dilaksanakan, Kyayi Ketut Bendesa diberi julukan Kyayi Notor Wandira.

Kyayi Ketut Bendesa (Notor Wandira) mempunyai kesukaan melakukan yoga semadi ke pura mengajak pengiring setia bernama Ki Tambyak. Atas keteguhan hati melakukan yoga semadi di Pura Panorajon memperoleh petunjuk melanjutkan perjalanan hingga ke Pura di Pelinggih Ida Batari Danu. Disini yoga semadinya memperoleh berkah sabda agar Kyayi Ketut Bendesa memandang daerah yang ditunjuk dan dilihatnya gelap (Badeng). Kyayi Ketut Bendesa diberi anugrah pula berupa cambuk (pecut) dan sumpit (tulup). Semua pengalaman yoga semadi yang memperoleh berkah dilaporkan kepada ayahnya Sri Magada Nata, yang menganugrahkan sebuah keris pusaka bernama ”Ki Cekle” kepada putranya.

Berdasarkan anugrah pentunjuk Ida Batari Ulun Danu, Kyayi Ketut Bendesa bersama seorang istri dan seorang putranya bernama Kyayi Gde Raka serta pengiring setianya Ki Tambyak menuju Puri Tegeh Kori di Badung untuk mengabdikan dirinya. Atas pengabdiannya yang setia, maka dia menjadi putra angkat dan diberi nama Kyayi Nyoman Tegeh dan dipersaudarakan dengan kedua putra kandungnya yang bernama Kyayi Wayan Tegeh dan Kyayi  Made Tegeh, yang selanjutnya Kyayi Ketut Bendesa / Kyayi Nyoman Tegeh ( Kyayi Notor Wandira ) membuat puri di sebelah timur Tukad Badung, Karena letak Puri dikelilingi oleh aliran Tukad Badung, maka puri tersebut dinamakan “Puri Alang Badung”

Kyayi Ketut Bendesa (Nyoman Tegeh) bersama putranya Kyayi Gede Raka ditugaskan oleh Kyayi Tegeh Kori atas “perintah Dalem” untuk menumpas pemberontakan Kyayi Ngurah Janggaran dari Sidemen.


1.8) Kyayi Gede Raka (Kyayi Jambe Pule)

Dikisahkan perang tanding Kayayi Ngurah Janggaran melawan Kyayi Gede Raka berlangsung lama dan tidak ada kalah. Keduanya sama-sama menderita luka. Akan tetapi setelah Kyayi Ngurah Janggaran mengetahui Kyayi Gede Raka mampu menyembuhkan lukanya sendiri, maka Kyayi Ngurah Janggaran dengan  jujur menyatakan dirinya kalah. Pernyataan itu mengakhiri perang tanding dengan kemenangan Kyayi Gede Raka. Namun bekas luka menyebabkan kulit Kyayi Gede Raka yang sembuh mengkerut seperti kayu pule maka Dalem memberi nama kehormatan kepada Kyayi Gede Raka dengan gelar Kyayi Jambe Pule.

Kyayi Jambe Pule mempunyai tiga istri. Permaisuri pertama bernama Istri Jambe Harum melahirkan seorang putra bernama “Kyayi Ngurah Jambe Mehik / Merik” yang tetap berada di Puri Alang Badung dan seorang putri bernama Ni Gusti Ayu Made Jambe kawin dengan Dalem Dimade dan melahirkan seorang putra bernama Dewa Agung Jambe “peletak dasar Kerajaan Klungkung”. Istri kedua dari “Penataran” melahirkan seorang putra bernama Kyayi Ngurah Pemedilan atau Kyayi Ngurah Pemecutan dan membangun Puri Pemecutan.

Istri ketiga dari Desa Tumbak Bayuh bernama Niluh Tameng (Jro Kame) melahirkan seorang putra yaitu Kyayi Ngurah Tumbak Bayuh atau Kyayi Ngurah Gelogor, membangun Puri Gelogor.

Kehadiran tiga kekuasaan bersaudara yang baru ini, di Puri Alang Badung, Puri Pamecutan dan Puri Gelogor mengkhawatirkan penguasa lama di daerah Badung yaitu Kyai Tegeh Kori di Puri Tegal. Kyai Tegeh Kori berkeyakinan bahwa ketiga kekuatan itu lebih mendapat perhatian dan kepercayaan dari pemerintah pusat di Kraton Sweca Linngarsapura Gelgel. Hal ini beralasan karena ketiga bersaudara itu adalah “ipar” dari penguasa Bali Dalem Di Made.

Untuk mencegah kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul maka Kyai Tegeh Kori mempertunangkan seorang putrinya dengan Kyayi Jambe Mihik (Merik) di Puri Alang Badung. Akan tetapi sesudah pertunangan disahkan, Kyai Tegeh Kori berubah pikiran lantaran kehadiran lamaran penguasa Kyai Ngurah Agung di Puri Jero Gede Pupuan Mengwi (Raja Purana Kenceng Mengwi, Gora Sirikan, II).

Persetujuan atas lamaran penguasa Puri Pupuan Mengwi itu membangkitkan amarah Kyayi Jambe Mihik / Merik. Karena rasa malu dan dihinakan, Kyayi Jambe Pule atau “ayah” dari Kyayi Jambe Merik berunding dengan ketiga putranya yaitu : Kyayi Jambe Merik, Kyayi Ngurah Pemedilan / Kyayi Macan Gading dan Kyayi Ngurah Gelogor, untuk menyerang Kyai Tegeh Kori.

Akan tetapi sebelum gerakan laskar Jambe Pule sampai di Puri Tegal, Kyai Tegeh Kori sudah lebih dahulu meninggalkan Purinya untuk mengungsi ke Mengwi. Dari Mengwi kemudian beralih dan menetap di Desa Tegal Tamu. Akibat lebih jauh seluruh daerah Badung jatuh dibawah kekuasaan Kyayi Jambe Pule di Puri Alang Badung.

Berkat kerjasama Kyayi Jambe Pule beserta ketiga putra-putranya maka dapat dikatakan Kerajaan Badung mulai berdiri diatas kekuatannya sendiri.

Kedaulatan Kerajaan Badung dapat dibuktikan dari keberaniannya menentang kekuasaan di Gelgel terutama setelah dikendalikan oleh Kyai Agung Di Made (Maruti, 1651–1677). Keberanian Kerajaan Badung menentang kekuasaan di Gelgel terbukti dari kebebasannya bertindak mengadakan hubungan langsung dengan persekutuan dagang kompeni (VOC) bangsa Belanda tanpa berunding terlebih dahulu dengan kekuasaan di Gelgel.

 Kerajaan Badung sudah memberi ijin kepada kompeni (VOC) Belanda mendirikan sebuah kantor dagang di pelabuhan Kuta pada tahun 1660. Kantor dagang VOC itu berfungsi untuk menaikkan hasil bumi yang dibeli dari Bali dan juga untuk perdagangan budak yang banyak memberi keuntungan bagi kompeni pada abad ke- 17 – 18 (Gora Sirikan, II).


1.9) Kyayi Jambe Merik => Awal mulainya kekuasaan Dinasti keJambean di Badung

Setelah Kyayi Jambe pule wafat, maka kekuasaan Kerajaan Badung diberikan kepada putranya yang bernama Kyayi Jambe Merik (ber’ibu dari putri Kyayi pucangan yang bernama Jambe Harum). Kyayi Jambe Merik dalam menjalankan Kekuasaannya dibantu oleh 2 saudara yang lain yaitu Kyayi Macan Gading dan Kyayi Ngurah Gelogor. Kyayi Jambe Merik tetap memusatkan pemerintahannya di Puri Alang Badung,

Kyayi Jambe Merik memiliki putra : Kyayi Jambe Ketewel, Kyayi Paang, Kyayi Nganjung, dan Kyayi Jambe Ubud yang kelak mendirikan “Puri Jero Kuta”.


1.10) Kyayi Jambe Ketewel

Kekuasaan Kyayi Jambe merik dilanjutkan oleh putranya yakni Kyayi jambe Ketewel, Kyayi Jambe Ketewel memiliki putra: Kyayi Jambe Tangkeban, Kyayi dangin, Kyayi tangeb, Kyayi Nyoman Jematang, Kyayi Made titih, Kyayi Lelangon, Kyayi Tatasan, dan Kyayi gede Bangas. Suasana di kerajaan Badung saatu itu berjalan dengan damai.


1.11) Kyayi jambe tangkeban

Kekuasaan Kyayi Jambe Ketewel selanjutnya di berikan kepada Kyayi Jambe Tangkeban. Kyayi Jambe Tangkeban memiliki putra yaitu Kyayi Jambe Aaji, Kyayi Ketut Kebon, Kyayi Kunang, Kyayi Dangin Kakangetan, dan Kyayi Gede Penataran.


1.12) Kyayi Jambe Aaji ( Kyayi Jambe Aeng )  => Mendirikan Puri Ksatria tahun 1750 

Kekuasaan Kyayi Jambe Tangkeban Selanjutnya diberikan kepada putranya yang bernama Kyayi Jambe Aaji. Pada masa pemerintahan Kyayi Jambe Aaji saat itu, air Sungai Tukad Badung yang mengelilingi arial Puri Alang Badung selalu naik sehingga sering kali Puri Alang Badung Kebanjiran. Melihat keadaan yang terus menerus seperti itu, maka Kyayi Jambe Haji memerintahkan untuk membangun Puri baru di daerah Satriya,


Puri ini kelak dinamakan Puri Ksatriya. Puri yang dibangun ini sangat besar dan megah (Aeng), sehingga Kyayi Jambe Haji disebut Pula dengan Kyayi Jambe Aeng.  Pemindahan Puri (pusat Pemerintahan Kerajaan badung) tersebut dilaksanakan pada tahun 1750.

Kyayi Jambe Aaji memiliki putra yang bernama Kyayi Jambe Ksatriya, Kyayi Agung Made Jambe, dan Kyayi Agung Anom Jambe. Sebagai pertanda titisan “Ksatria Dalem” kepada Kyayi Jambe Aeng dan keturunan secara turun-temurun berhak menggunakan pengusung jenazah (bade) yang menggunakan dasar Bedawangnala dan Nagabanda 

(Babad dalem milik Puri Sukawati).

“Puri tersebut terletak di sebelah barat Pura Pedharman Agung Ksatria”.


1.13) Kyayi Jambe Ksatriya

Selanjutnya kekuasaan Kyayi Jambe Haji / Kyayi Jambe Aeng di berikan kepada putranya yang bernama Kyayi Jambe Ksatriya. Pada Masa Pemerintahannya Kyayi jambe Ksatriya sangatlah lemah dalam hal mengendalikan pemerintahan.

Kelemahan kekuasaan inilah dimanfaatkan oleh saudaranya dari Puri Kaleran Kawan (keturunan dari Kyayi Macan Gading) yang bernama Kyayi Ngurah Rai Pemecutan. sebelum melaksanakan niatnya tersebut beliau terlebih dahulu melakukan perundingan dengan “Dewa Manggis” (Raja di Kerajaan Gianyar). Raja Gianyar Sanggup membantu usaha Kyayi Ngurah Rai Pemecutan, dan untuk melaksanakan niatnya itu beliau sengaja mencari alasan agar terjadi perselisihan dengan Raja Kyayi Jambe Ksatriya tersebut, dan upaya itupun berhasil yang mengakibatkan Puri Ksatriya dikepung oleh Laskar dari Kyayi Ngurah Rai Pemecutan yang dibantu Laskar dari Kerajaan Gianyar dan langsung melakukan “kudeta” hingga menyebabkan Kyayi Jambe Ksatriya wafat.

Sebelum Kyayi Jambe Ksatriya wafat, belau memberi “bhisama” atau keputusan kepada Kyayi Ngurah Rai Pemecutan “bahwa kelak yang menggantikan belau sebagai Raja Badung bukanlah Kyayi Ngurah Rai Pemecutan, tetapi kakaknya yang bernama Kyayi Ngurah Made”. Bhisama selanjutnya “Kyayi Ngurah Made agar menikahi istri dari Kyayi Jambe Ksatriya” yang waktu itu sudah mengandung (mobot), “setelah menikah dengan istri Kyayi Jambe Ksatriya maka Kyayi Ngurah Made tidak boleh menggauli istri Kyayi Jambe Kstariya tersebut”. “Bila kelak istri Kyayi Jambe Ksatriya melahirkan dan putra yang lahir adalah laki-laki maka bayi yang lahir inilah yang akan meneruskan kekuasaan sebagai Raja Badung selanjutnya”.



2) PURI AGUNG DENPASAR sebagai pusat pemerintahan di Kerajaan Badung (1788 – 1906)



2.1) Kyayi Ngurah Made / I Gusti Ngurah Made Pemecutan ( Raja Denpasar I [ 1788 – 1813 ] )

Diceritakan, Kekuasaan Puri Ksatriya jatuh dibawah genggaman Kyayi Ngurah Made, sebagai penerima “tahta” dari Kyayi Ngurah Jambe Ksatriya yang telah tewas tersebut. Oleh Karena Puri Ksatriya nan megah itu rusak maka pada masa kekuasaan Kyayi Ngurah Made, beliau memerintahkan untuk membuat puri baru yang letaknya di tetamanan “den-pasar”, yang berada di sebelah selatan Puri Ksatriya dan juga sebelah utara pasar yang selanjutnya di sebut dengan Puri Denpasar. Pada tahun 1788 Puri Agung Denpasar secara resmi digunakan sebagai pusat Kerajaan Badung dan beliau berhak menggunakan gelar seorang Raja yaitu “I Gusti Ngurah Made Pemecutan” mengingat keturunan beliau dari trah Pemecutan (1788-1813). Serta beliau melantik diri sebagai Raja Denpasar Pertama.

Sementara itu untuk menepati janji Kyayi Ngurah Rai Pemecutan terhadap Raja Gianyar yang telah membantunya, maka Raja I Gusti Ngurah Made Pemecutan / Raja Denpasar I, menyerahkan desa Batubulan untuk menjadi wilayah Kerajaan Gianyar.

I Gusti Ngurah Made Pamecutan adalah raja pertama Puri Denpasar yang memperluas hegemoni Kerajaan Badung. Pernah menyerang dan menguasai Kerajaan Jembrana (1805-1818) yang diperintah oleh “I Gusti Ngurah Gede Jembrana”. Jembrana dapat ditaklukan dan sebagai penguasa di daerah jajahan, diangkatlah “Kapten Patini”, orang Bugis yang berjasa pada Kerajaan Badung. Kapten Patini memajukan daerah Jembrana sebagai daerah yang makmur, berkat usaha dibidang perdagangan dan pelayaran.

Keadaan demikian itu membuat Raja Buleleng pada masa itupun merasa tidak senang, karena tradisi, wilayah Jembrana berada dibawah pengaruh Kerajaan Buleleng. Akhirnya pada tahun 1818 wilayah jembrana direbut oleh Kerajaan Buleleng yang penyerangannya dipimpin oleh “Gusti Nyoman Jelantik” dan Kapten Patini dengan laskar Bugisnya pun gugur dalam pertempuran itu sehingga wilayah Jembrana ditempatkan di bawah hegemoni Buleleng (Utrecht, 1962:101).

Tercatat juga dalam masanya sebelum beliau wafat, beliau pernah membuat kontrak kerja sama dengan pihak Belanda yang diwakili oleh Kapten Kavaleri “Van der Walh” di Puri Agung Denpasar.

Pada Tahun 1810, I Gusti Ngurah Made Pamecutan membagi daerah kekuasaannya kepada dua orang putranya yaitu I Gusti Gede Ngurah (Jambe) dan I Gusti Gede Kesiman sebelum dia wafat pada tahun 1813. Takhta di Puri Agung Denpasar pun diwariskan kepada anaknya dari istri “Jambe” I Gusti Gede Ngurah dan setelah dinobatkan bergelar I Gusti Ngurah Jambe, sebagai Raja Denpasar II


2.2) I Gusti Gede Ngurah Pemecutan / Raja Denpasar II (1813 – 1817)

I Gusti Ngurah Made Pemecutan mewariskan Kerajaan Badung kepada sang putra mahkota “I Gusti Gede Ngurah Pemecutan” yang ber’ibu dari janda Kyayi Jambe Ksatriya. Dengan adanya perkawinan antara I Gusti Ngurah Made Pemecutan dengan istri Kyayi Jambe Ksatriya, maka putra yang lahir dari perkawinan tersebut secara hukum beliau adalah pemecutan, namun secara biologis beliau adalah Jambe. Mulai pada masa inilah dikenal istilah “Jambe Pemecutan”. Pusat Pemerintahan tetap di Puri Agung Denpasar dan I Gusti Gede Ngurah Pemecutan pun diangkat sebagai Raja Denpasar II.

Pada masa Pemerintahan beliau, Kerajaan Mengwi pernah menyerang Badung pada tahun 1817, akan tetapi serangan tersebut dapat digagalkan. Masa Pemerintahan I Gusti Gede Ngurah Pemecutan, suasana di Kerajaan Badung aman dan teratur, tidak diceritakan akhir kehidupan beliau, tetapi disebutkan bahwa beliau meninggalkan putra mahkota yang masih kecil yang bernama “I Gusti Made Ngurah Pemecutan”


2.3) I Gusti Made Ngurah Pemecutan / Raja denpasar III (1817-1829)

Pada tahun 1817, I Gusti Gede Ngurah Pemecutan / Raja Denpsar II wafat, sesuai dengan tradisi, maka beliau seharusnya digantikan oleh putra mahkota yakni I Gusti Made Ngurah Pemecutan. Namun karena pada saat itu putra mahkota masih kecil / di bawah umur. Atas persetujuan Persamuan Agung Kerajaan, disepakati untuk mengangkat pamannya yang sudah bertempat tinggal di Puri Gede Kesiman, yaitu I Gusti Agung Gede Kesiman untuk menjadi Wali Raja, beliau bergelar “I Gusti Gede Ngurah Kesiman”

Diceritakan bahwa I Gusti Made Ngurah Pemecutan sudah dewasa dan sudah siap menerima tanggung jawab sebagai raja. Maka beralihlah pusat pemerintahan kerajaan Badung dari Puri Kesiman ke Puri Denpasar.

Dalam masa pemerintahannya, I Gusti Made Ngurah Pemecutan sebagai Raja Denpasar III menjalankan politik memperkuat kedudukan Puri Agung Denpasar dan sekaligus mempererat kekeluargaan dalam lingkungan Pasemetonan Puri Agung Denpasar. Dalam kaitan tersebut beliau berkenan memberikan izin perkawinan antara para putri Puri Agung Denpasar dengan para putra dari Panglingsir Puri dalam lingkungan Pasemetonan Puri Agung Denpasar, dengan cara “katrimen” (pemberian dari Puri Agung Denpasar).

Di samping itu beliau lebih memfungsikan keberadaan lembaga “Manca Agung”, yaitu 5 puri besar di lingkungan Puri Agung Denpasar yang terdiri dari Puri Kaleran Kawan, Puri Kaleran Kangin, Puri Tegal, Puri Oka, dan Puri Jero Kuta.

Setelah wafat beliau diberikan sebutan Bhatara Mur Ring Galungan, karena beliau meniggal bertepatan dengan Hari Raya Galungan.


2.4) I Gusti Gede Ngurah Pemecutan / Raja Denpasar IV (1829 – 1848)

I Gusti Gede Ngurah Pemecutan dinobatkan sebagai Raja Denpasar IV dan juga diberi gelar I Gusti Gede Ngurah Denpasar. Politik pemerintahan yang telah dijalankan oleh Raja terdahulu tetap beliau lanjutkan. Adapun peristiwa yang menonjol dalam masa pemerintahan beliau di Puri Agung Denpasar adalah Upacara Pitra Yadnya “Pelebon” yang diselenggarakan untuk puluhan jenazah yang masih malelet di Puri. Yang menjadi pokok dari upacara besar itu adalah jenazah I Gust Made Ngurah Pemecutan / Raja Denpasar III. Upacara Palebon tersebut dilangsungkan di suatu tempat di sebelah utara Desa Taensiat. Upacara Palebon tersebut merupakan Upacara Pitra Yadnya terbesar dibandingkan dengan upacara sejenis yang pernah dilaksanakan sebelumnya.

Pada masa pemerintahan Raja Denpasar IV, perkembangan perdagangan di Kuta semakin ramai terutama karena bermukimnya seorang pedagang asing berkebangsaan Denmark yang bernama Mads Lange / Tuan Lange di Kuta, atas seijin Raja Denpasar pada tahun 1839. Disamping sebagai pedagang, Tuan Lange juga mendapat kepercayaan dari Raja Denpasar sebagai Syahbandar di Pelabuhan Kuta.


Pada tanggal 1 Agustus 1839, Raja Denpasar juga mengizinkan sebuah perusahaan dagang Belanda, yaitu De Nederlandsche Handel-Maatschppij (NHM) membuka kantornya di Kuta. Badan dagang ini rupanya juga berkecimpung untuk mengamati perkembangan politik di Bali, sehingga lebih memudahkan pihak Belanda mengadakan pendekatan dengan raja-raja di Bali dalam rangka kepentingan kolonialnya.

I Gusti Gede Ngurah Pemecutan / Raja Denpasar IV setelah wafat diberikan gelar kehormatan “Bhatara Hinggas”.


2.5) I Gusti Alit Ngurah Pemecutan / Raja Denpasar V (1848 – 1902)

I Gusti Alit Ngurah Pemecutan dinobatkan sebagai Raja Denpasar V, menggantikan almarhum ayahnya. Beliau dinobatkan sebagai raja pada saat situasi politik yang semakin keruh di Bali khususnya di Kerajaan Badung, yaitu campur tangan Kerajaan Belanda yang semakin dalam, sehubungan dengan politik imperialismenya.

Pada tahun 1902, terjadi suatu peristiwa yang sangat menyedihkan yang menimpa keluarga Puri Agung Denpasar, dimana I Gusti Alit Ngurah Pemecutan / Raja Denpasar V “wafat” karena dibunuh dengan racun oleh seorang balian dari Tumbak Bayuh Badung, atas perintah I Gusti Ayu Riris. Beliau merupakan istri dari I Gusti Ngurah Made Agung yang merupakan adik tiri dari Raja Denpasar V. Perbuatan keji tersebut akhirnya berakhir dengan dihukumnya I Gusti Ayu Riris dengan cara (kalebok) di daerah Serangan.

Setelah wafat, I Gusti Alit Ngurah Pemecutan diberi nama kehormatan yakni “Bhatara Basmi”, karena beliau di-abukan (diadakan pebasmian/diaben) di dalam puri tanggal 19 September 1906, sehari menjelang Perang Puputan Badung.


2.6) I Gusti Ngurah Made Agung / Raja Denpasar VI (1902 – 1906)

Setelah wafatnya I Gusti Alit Ngurah Pemecutan, sebenarnya yang berhak sebagai penggantikan mendiang Raja Denpasar V adalah I Gusti Alit Ngurah yang merupakan putra mahkota dari Raja Denpasar V, akan tetapi karena umur beliau (putra mahkota) baru berusia 6 tahun dan belum cukup umur untuk dinobatkan sebagai Raja, maka untuk sementara jabatan Raja dipegang oleh I Gusti Ngurah Made Agung yang merupakan adik tiri Raja Denpasar V.

I Gusti Ngurah Made Agung lahir di Puri Agung Denpasar pada 5 april 1876, sehingga pada saat dinobatkan sebagai raja pada tahun 1902 umur beliau pun masih relative muda, yaitu berusia 26 tahun.

Dari catatan berbagai sumber sejarah yang ada, semasa muda Raja Denpasar VI, diisi dengan ketekunan beliau berguru pada seorang pendeta yang juga sebagai Bhagawanta Puri Agung Denpasar dari Griya Sindu, Sanur. Di sana beliau belajar tentang agama, filsafat, etika, sastra dan juga belajar tentang bahasa Jawa dari orang Jawa (Solo).

Dalam pergaulannya, beliau juga dikenal setia dengan teman-temannya. Salah satu teman dekat yang selalu beliau ajak pulang pergi, ke Puri Agung Denpasar adalah seorang brahmana yang bernama Ida Ketut Aseman, dari Griya Taman Intaran, Sanur. Teman beliau ini setelah medwijati kewikon menjadi pendeta dikenal dengan nama Ida Pedanda Made Sidemen yang sangat bersahaja dan karya-karyanya sangat bermutu dalam kehidupan susastra di Bali. Dapat dipahami bahwa dari cara hidup beliau yang rajin, tekun dan bersungguh-sungguh itu, telah menjadikan I Gusti Ngurah Made Agung seorang yang mampu memimpin dan bekerja dalam naungan sastra, sehingga memiliki wawasan dan pemikiran yang luas, bersikap jujur dan berani dalam menghadapi tantangan hidup.

Selanjutnya dikisahkan bahwa pada tahun 1906, I Gusti Ngurah Made Agung yang merupakan Raja Denpasar VI “gugur” dalam pertempuran melawan tentara ekspedisi kolonial Hindia Belanda pada tanggal 20 September 1906, sekitar pukul 12.00 siang, di depan Pura Satria bersama ribuan rakyat Badung serta sanak keluarga Puri dengan memakai balutan kain serba putih dan membawa senjata sederhana.

Tentara kolonial Hindia Belanda akhirnya dapat memasuki Puri Agung Denpasar yang telah terbakar dan menyisakan tembok-tembok penyengker Puri. Sekitar pukul 13.00 siang, pasukan Belanda akhirnya menduduki Puri Agung Denpasar, dan dilanjutkan penyerangan ke Puri Agung Pemecutan sekitar pukul 15.00 menjelang sore.

Akhirnya puri-puri mulai dari benteng terdepan yakni Puri Gede Kesiman, Puri Agung Denpasar dan terakhir Puri Agung Pemecutan, manca-manca Puri beserta Griya, Jero-Jero dan sebagainya di Kerajaan Badung, berhasil dilumpuhkan oleh pasukan Belanda.

Ribuan mayat dari Kerajaan Badung pun tewas, meski di beritakan laskar Kerajaan Badung sebagian sudah memiliki senjata modern berupa bedil dan beberapa meriam kecil (lila) hasil perdagangan dengan Singapura itu juga belum mampu menandingi pasukan belanda yang sudah prefesional dalam persenjataan dan teknik penggunaannya.

Lain cerita dikabarkan pula bahwa sebelum terjadi puputan, sang putra mahkota dari Raja Denpasar V bernama I Gusti Alit Ngurah yang usianya sudah menginjak10 tahun, terlebih dahulu di larikan oleh beberapa laskar khusus pengawal kerajaan, didampingi ibunya serta beberapa sanak keluarga dekat puri, pergi ke daerah barat tepatnya di Desa Seminyak Kuta.

Pada tanggal 17 Januari 1907, I Gusti Alit Ngurah pun di tangkap dan menjadi tawanan perang. Beliau diasingkan ke Mataram Lombok oleh Pemerintah Hindia Belanda.


2.7) Tjokorda Alit Ngurah / Raja Denpasar VII (1929-1965 dibawah kuasa bangsa Belanda) 

Cokorda Alit Ngurah di abhiseka sebagai Raja Denpasar VII di Pura Besakih bersama dengan raja-raja Asta Negara lainnya. Sebelumnya beliau bernama I Gusti Alit Ngurah, lahir di Puri Agung Denpasar pada tanggal 31 Desember 1896 tepatnya pada hari Kamis Umanis wuku Gumbreg. Ayahnya adalah Raja Denpasar V yang bernama I Gusti Alit Ngurah Pemecutan dan juga disebut dengan nama I Gusti Gede Ngurah Denpasar, sedangkan ibunya bernama Gusti Ayu Ketut Ngurah dari Puri Serongga Gianyar.

Pada masa kecilnya Cokorda Alit Ngurah dibesarkan di Puri Agung Denpasar pada waktu sebelum terjadi puputan, dengan di dampingi dan diasuh oleh ibunya beserta kerabat puri lainnya. Disamping pamannya I Gusti Ngurah Made Agung yang menjabat sebagai Raja Denpasar VI dan gugur juga dalam perang Puputan Badung 1906. Siatuasi dan pengalaman hidup dan didikan dari pamannya yang merupakan Raja Denpasar VI, telah berdampak pada sifat, watak serta perkembangan karakter I Gusti Alit Ngurah. Hal ini tampak jelas dari kegemaran beliau terhadap sastra dan membaca lontar dari sejak kecil.

Pada saat terjadi perang puputan Badung, I Gusti Alit Ngurah selamat dari korban puputan karena diungsikan terlebih dahulu, pada usia beliau yang berumur 10 tahun dan pada tanggal 17 Januari 1907, I Gusti Alit Ngurah selaku putra mahkota Raja Denpasar V akhirnya ditawan dan dibuang ke Lombok oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Setibanya di Lombok beliau beserta rombongan di tempatkan di Taman Mayura, Cakranegara, Lombok Barat yang merupakan lingkungan orang-orang Bali. Beberapa bulan setelah beliau berada di Lombok menyusul kemudian I Gede Cager dari banjar Taensiat, I Gobleg dari wangaya kelod, Dayu Made Tombong dari Serongga. Di Lombok beliau mengikuti pedidikan pada sekolah rakyat yang dapat diselesaikan tepat waktunya. Disamping itu kegemaran membaca lontar juga beliau teruskan dengan bimbingan dari Ida Pedanda Ketut Kelingan dari Griya Sinduwati, Cakranegara, Mataram, Lombok. Selain itu diasrama Cakranegara I Gusti Alit Ngurah berkenalan juga dengan tawanan dari berbagai daerah yang secara psikologis mempengaruhi pula karakternya.

Setelah mengalami pengasingan selama lebih kurang 10tahun, pada tanggal 1 Oktober 1917 atas desakan tokoh-tokoh masyarakat di Lombok seperti I Gusti Putu Griya dan Ida Pedanda Ketut Kelingan serta desakan masyarakat Badung, I Gusti Alit Ngurah akhirnya dikembalikan oleh pemerintah Belanda ke Badung, selain itu juga karena keamanan di Bali sudah relatif aman dan tidak ada tanda-tanda akan terjadinya pemberontakan.

Setelah berada di Badung beliau di pekerjakan dibeberapa instansi pemerintahan kolonial seperti dipercayai bertugas di kantor Bouw Werkplaats (Kantor PU) dengan tugas sebagai mandor untuk mengurusi pembuatan jalan dan prasarana lainnya pada tahun 1918, setelah dua tahun menjadi mandor karena dilihat dari ketekunan beliau dalam bekerja akhirnya pemerintah Belanda mengangkat beliau sebagai Juru Tulis di kantor Asisten Residen dengan tugas mencatat semua hasil perkara yang pernah ditangani pengadilan dengan gaji £20 (1920-1924). Dan hanya beberapa tahun saja jabatan beliau diangkat menjadi Mantri Polisi dan ditempatkan di Carangsari dengan gaji £50. Berdasarkan besluit No.836, tanggal 1926 I Gusti Alit Ngurah diangkat sebagai Sedahan Agung Badung di Denpasar. Disiplin serta ketekunan beliau dalam bekerja dan karena pengabdian beliau yang sudah cukup lama untuk menguji kesetian terhadap pemerintah Belanda, munculah surat Besluit Hoofd van het Kantoor van Reiswezen ddo; 27 Juli No. 1512, yang menjadikan beliau  sebagai Regent di daerah (landschap) Badung dengan title Cokorda dengan gaji sebesar £800 serta uang jalan £125.

Setelah kembali dari pengasingan I Gusti Alit Ngurah tidak tinggal di Puri Agung Denpasar, melainkan tinggal di Jero Belaluan, karena Puri beliau yang sudah jatuh ketangan Belanda dan dijadikan sebagai kantor Pemerintahan wilayah Bali Selatan. Selama belasan tahun bekerja pada pemerintahan Belanda, beliau pada saat diangkat menjadi Regent, I Gusti Alit Ngurah belum mempunyai Puri yang sesuai dengan kedudukan beliau. Akhirnya pada tahun 1928 beliau mulai merintis pendirian Puri Denpasar yang baru di daerah Satria, sehingga masyarakat sering menyebutnya sebagai “Puri Satria” yang juga berada tepat di depan Pura Pedharman Agung Satria Denpasar. Sampai saat ini pun Puri masih berdiri dengan kokoh dan banyak sekali penambahan bangunan di lingkungan puri, tetapi bangunan yang belau jadikan kantor serta wantilan tempat menyambut tamu dan masyarakat, sama sekali tidak mengalami perubahan dan tetap dirawat oleh keluarga Puri Agung Denpasar sampai saat ini.

Pemerintah Kolonial Belanda mulai menerapkan sistem pemerintahan yang baru yaitu Zelfbestuurder (pemerintahan sendiri / otonomi), guna dapat mempermudah mengatur daerah jajahan yang demikian luasnya. Pada tanggal 1 Juli 1938 sistem Zelfbestuurder diterapkan secara serentak di daerah Bali dan dibagi menjadi 8 landschapen, yaitu Buleleng, Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Klungkung dan Karangasem. Pada setiap landschapen diangkat seorang kepala daerah dengan sebutan Zelbestuuder (Raja).

Pemelihan kepala daerah tersebut masih dominan didasarkan atas keturunan Raja atau dari keluarga raja sebelumnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka untuk Zelbestuuder badung dipegang oleh I Gusti Alit Ngurah dari Puri Agung Denpasar (satria) dengan gelar Cokorda Alit Ngurah. Peresmian dan Pengangkatan (Abhiseka) beliau dilakukan serentak dengan 8 Zelbestuuder lainya yang diambil sumpahnya di Pura Besakih pada tanggal 30 Juni 1938. Peresmian dan pengangkatan ini dilakukan oleh Residen L.J.J. Caron. Dalam hubungan ini terlihat bahwa Pemerintah Belanda masih tetap memegang posisi kendali diatasnya.


AWAL DAN AKHIR PENDUDUKAN JEPANG & MASA TERBENTUKNYA KEDAULATAN NKRI


2.8) Tjokorda Ngurah Agung / Raja Denpasar VIII ( wafat pada 5 Juli 1998 )

Cokorda Ngurah Agung adalah putra laki-laki pertama dari Ida Cokorda Alit Ngurah, Raja Kerajaan Badung yang wafat pada tahun 1965. Ida Cokorda Ngurah Agung lahir pada tahun 1917 dari seorang ibu yang bernama Anak Agung Sagung Oka dari Puri Belaluan, Setelah menyelesaikan pendidikan di HIS (Hollandch Indische School), beliau melanjutkan pendidikan sekolah MULO di Yogyakarta dan sekolah MOSVIA di Magelang. Tahun 1941 Cokorda Ngurah Agung meninggalkan sekolah, kemudian memasuki dunia militer di tahun 1942. Beliau kembali ke Bali saat meletusnya Perang Dunia II, ketika Jepang mulai bercokol di Pulau Bali.

Dalam gerak langkah berikutnya, selain membantu ayah beliau dalam pemerintahan, beliau juga menjabat sebagai Wakil Ketua Pemuda Rakyat Republik Indonesia dan bersama-sama para Pemuda Pejuang, turut mendirikan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Bali yang pusatnya bermarkas di Puri Denpasar (Puri Satria). Selanjutnya bersama-sama para pemuda pejuang lainnya dan atas kesepakatan, bersama I Gusti Putu Merta beliau mendirikan PARRINDO pada tanggal 4 Desember 1946.

Pada tahun 1948 setelah diperiksa oleh Controleur Karangasem, beliau dikeluarkan oleh tahanan asrama NICA dan selanjutnya beliau ditampung di Puri Karangasem selama lebih kurang tiga bulan. Kemudian Cokorda Ngurah Agung dijemput oleh Ngurah Konta dan dibawa kembali ke Denpasar, tepatnya pada April 1948. Namun, tidak berselang lama, ada instruksi agar Cokorda Ngurah Agung segera menghadap ke Kantor Dewan Raja-raja.

Berdasarkan pertimbangan politis, akhirnya Cokorda Ngurah Agung dipindahkan ke Singaraja dengan status sebagai Tahanan kota. Namun demikian beliau tetap dianggap membahayakan kedudukan NICA di Buleleng. Akhirnya beliau dipindahkan lagi ke Denpasar, pada saat beliau berada di Kota Singaraja, pada bulan Maret 1950 beliau juga berperan serta dalam pendirian Partai Nasional Indonesia (PNI). Dari sini dapat diketahui dengan nyata bahwa pengabdian Cokorda Ngurah Agung yang merupakan putra dari Ida Cokorda Alit Ngurah ini dalam menyongsong dan mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia sangatlah tinggi.

Sebagai buah perjuangan yang positif dan terpandang oleh Rakyat Badung, maka setelah tercapainya Negara Kesatuan Republik Indonesia, Ida Cokorda Ngurah Agung diangkat sebagai Dewan Pemerintahan Swapraja Badung.

Pada tanggal 29 April 1998 dalam usia 81 tahun, yang karena sakit, akhirnya Ida Cokorda Ngurah Agung wafat. Beliau diupacarakan dengan Adat Kebesaran Raja-raja di Badung dan upacara penghormatan Veteran pada tanggal 5 Juli 1998.


2.9) Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan, SH / Raja Denpasar IX (2005 – sekarang)

Cokorda Ngurah Mayun Samirana, SH adalah putra pertama dari Ida Cokorda Ngurah Agung, ibunya bernama Anak Agung Sagung Putri dari Puri Pemecutan yang merupakan putri tertua dari Anak Agung Gede Lanang Pemecutan. Cokorda Ngurah Mayun Samirana lahir pada tanggal 15 Juni 1943 di Puri Agung Denpasar (Puri Satria). Istri beliau bernama I Gusti Ayu Raka Suratmi dari Jero Gede Kerobokan, Badung.

Setelah dinobatkan sebagai Raja Denpasar IX tanggal 25 Nopember 2005, beliau bergelar sebagai Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan, sedangkan istri beliau sebagai dampati bergelar Anak Agung Ayu Oka Pemecutan. Semua rangkaian Upacara Penobatan Raja (Abhiseka Ratu) yang merupakan wujud serta pengejawantahan Warisan Budaya Leluhur yang harus dilestarikan, sehingga sangat jauh dari urusan serta masalah ketatanegaraan.


  
DAFTAR PUSTAKA :

  1. A.A BAGUS WIRAWAN, 2011, SEJARAH KOTA DENPASAR : Dari Kota Keraton Menjadi Kota ( 1788 – 2010 ), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ( BAPPEDA ) KOTA DENPASAR DAN UNIVERSITAS UDAYANA
  2. Nengah Keddy Setiada, 2009, Penelusuran Kota Denpasar, BAPPEDA KOTA DENPASAR, CV.CIPTA
  3. RAJA PURANA, PURI AGUNG DENPASAR
  4. Slamat Trisila, 2012, Denpasar Tempo Dulu : Melacak Dinamika Kota Denpasar Berbasis Visual, Badan Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi

Comments

Popular posts from this blog

5. Rumah Pohon Temega Karangasem

Wisata Rumah Pohon Temega adalah tempat wisata di Bali terbaru dan paling hits. Tepatnya berada Jl. Raya Tirta Gangga, Temega, Padang Kerta, Kec. Karangasem, Kabupaten Karangasem, Bali, Indonesia. Tempat ini dibuka sekitar bulan November 2016 lalu, dan masih termasuk wisata baru. Jarak tempuh dari Denpasar sekitar 2 jam perjalanan/ jarak 70 km, atau sekitar 3 km sebelum sampai wisata Tirta Gangga. Lokasi ada di tepi jalan raya, jadi kamu akan lebih mudah menemukan tempat ini. Harga tiket masuk cukup murah. Untuk dewasa Rp 10.000,-, anak-anak Rp 5.000,- per orang. Untuk tarif parkir sepeda motor Rp 2.000,-, mobil Rp 5.000,- per unit. Tempat unik ini buka setiap hari dari jam 07.00 pagi sampai jam 7 sore. Di hari libur Nasional/Minggu tempat ini ramai pengunjung, jika ingin puas menikmati wisata disini sebaiknya datang di hari biasa. Rumah-rumah yang ada di atas pohon ini berdesain unik dan kekinian untuk menikmati pemandangan alam sekitar. Penghubung antar rumah pohon ini a

Kisah Perjalanan Raden Ayu Pemecutan / Raden Ayu Siti Khotijah

  Taru rambut ini tumbuh tepat di pusara atau makam kramat Raden Ayu Pemecutan alias Gusti Ayu Made Rai berada di tengah setra Badung, tepatnya di jalan Gunung Batukaru sekarang. Di bawah sebuah pohon kepuh yang besar, ada sebuah kuburan yang khusus untuk salah seorang keluarga Puri Pemecutan yang bernama Gusti Ayu Made Rai atau Raden Ayu Pemecutan. Bagaimana bisa terjadi adanya taru rambut pada sebuah makam kramat tersebut? Kisah ceritanya adalah sebagai berikut : Tersebutlah seorang raja di Puri Pemecutan yang bergelar I Gusti Ngurah Gede Pemecutan. Salah seorang putri beliau bernama Gusti Ayu Made Rai. Sang putri ketika menginjak dewasa ditimpa penyakit keras dan menahun yakni sakit kuning. Berbagai upaya sudah dilakukan untuk menyembuhkan penyakit tersebut, namun tidak kunjung sembuh pula. Sang raja ketika itu mengheningkan bayu sabda dan idep, memohon kehadapan Hyang Kuasa, di merajan puri. Dari sana beliau mendapatkan pewisik bahwa Sang Raja hendaknya mengadakan sabda pandit