
Dari
sisi bentang alam, wilayah Badung bercirikan kawasan agraris dan
dikelilingi pantai yang cocok untuk pelabuhan, aktivitas perdagangan
laut yang cukup tua usianya (Kuta, Sanur). Produksi kerajinan seperti
gerabah (penyobekan) juga menunjukkan corak kuno seperti yang masih dibuat di Desa Lumintang.
1) Ekspedisi
Patih Majapahit ( Gajah Mada ) disertai Para Arya ke Pulau Bali dalam
usaha mempersatukan wilayah Nusantara. Khususnya Arya Damar
(Adityawarman) yang menurunkan Kerajaan Tabanan dan Badung
1.1) Arya Damar (Adityawarman)

Dalam ekspedisi Majapahit Ke Bali,
Gajah Mada mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk menyerang
Bali. Ekspedisi Gajah Mada ke Bali terjadi pada tahun 1343 dengan
Candrasangkala “Caka isu rasaksi nabhi” (anak panah, rasa, mata
pusat). Pasukan Majapahit dipimpin oleh Patih Gajah Mada sendiri
bersama panglima perang Arya Damar serta dibantu oleh beberapa Arya
lainnya. Dari beberapa Arya tersebut, terdapat 3 putra dari Arya Damar
yaitu Arya Kenceng, Arya Belog dan Arya Delancang.
Setelah
berhasil menyatukan Bali dalam wilayah Kerajaan Majapahit, Arya Damar
kembali ke Majapahit bersama-sama Patih Gajah Mada dan melanjutkan
ekspedisi menyatukan Nusantara hingga akhirnya menjadi penguasa di
“Malayapura” yang akan selanjutnya keraton dipindahkan ke pedalaman Minangkabau.
Di Negeri Minangkabau beliau lebih dikenal dengan gelar “Adityawarman”.
Beliau meninggalkan ketiga putra beliau diBali dengan membangun
puri-puri (keraton) untuk ketiga putra-putranya. Arya Kenceng membangun
Puri Buahan Tabanan yang selanjutnya membangun Puri Tabanan. Arya Belog
membangun Puri KabaKaba Tabanan, dan Arya Delancang membangun Puri di
Kapal.
Institusi di tingkat supra desa terbentuk berupa wilayah yang dikepalai oleh Anglurah dan
kemudian menjelma menjadi Raja. Proses demikian dapat dilacak awalnya
pada abad ke-14 ketika terjadi ekspedisi Majapahit yang dipimpin
oleh Mahapatih Gajah Mada bersama dengan para Arya pada tahun 1343.
Salah seorang Arya yang memegang peranan dalam membangun institusi
kerajaan di Badung dan Tabanan ialah Arya Kenceng. Dia adalah salah
seorang Arya Ksatriyeng Kahuripan yaitu keturunan Raja Kahuripan di Jawa Timur (Raja Purana Kenceng; K.M Suhardana, 2006, 44-45).
Ketika ekspedisi Majapahit digelar, Arya Kenceng menjadi Panglima untuk menyerang laskar Kerajaan Bedahulu diBali dari arah Selatan. Setelah ekspedisi berhasil Arya Kenceng tinggal menetap di Desa Buahan diTabanan (Babad Tabanan, Usana Jawa, Gora Sirikan, II). Beliau menikah dengan seorang Brahmani dari ketepenggreges dan dikaruniai putra bernama Arya Yasan.
1.3) Arya Yasan
Arya Kenceng berkuasa di Tabanan menikah
dengan seorang keturunan Brahmana dari Ketepengreges Majapahit. Buah
perkawinannya lahir seorang putra diberi nama Arya Yasan. Arya Yasan
kawin dengan Gusti Ayu Pacung adik Arya Sentong dari Pacung Carangsari
menurunkan 2 orang putra dan seorang putri bernama : Kyayi Putu, Kyayi
Wagus Alit dan seorang putri.
Oleh Dalem di Gelgel, Kyayi Wagus Alit
diberi hadiah tempat tinggal di desa Buahan Tabanan dan kepada kakaknya
yang bernama Kyayi Putu diberi hadiah tempat tinggal di desa Buahan
diBangli karena jasa-jasanya dan kesetiaannya kepada Dalem Gelgel.
1.4) Kyayi Wagus Alit
Tidak diceritakan perjalanan hidup dari
Kyayi Wagus Alit pada saat berada di desa Buahan Tabanan, tetapi beliau
dilaporkan mempunyai seorang putra yang diberi nama Arya Pucangan.
1.5) Arya Pucangan
Arya Pucangan mempunyai dua orang putra yang bernama Arya Magada Prabu, dan Arya Magada Nata.
1.6) Arya Magada Nata
Ketika Arya Magada Nata memasuki usia
lanjut, beliau juga membangun tempat peristirahatan di Kubon Tingguh. Di
Desa itu sempat kawin dengan putri Bendesa Buahan di Kubon Tingguh.
Buah perkawinannya lahir seorang putra diberi nama Kyayi Ketut Bendesa.
Ketika terjadi kekosongan penguasa di
Puri Penatih maka atas titah Dalem di Gelgel kepada Arya Magada Nata
untuk memperkenankan adiknya yang bernama Kyayi Tegeh menjadi penguasa.
Dalem menyetujui Kyayi Tegeh menjadi
pengganti I Gusti Ngurah Penatih dengan gelar Kyayi Tegeh Kori, yang
kemudian menetap di Puri Tegeh Kori di daerah Tegal. Kyayi Tegeh Kori
menjadi penguasa di Badung.
1.7) Kyayi Ketut Bendesa (Notor Wandira) => Mendirikan Puri Alang Badung (didaerah Tegal)
Menginjak
dewasa Kyayi Ketut Bendesa kelihatan tanda-tanda kesaktiannya yaitu
dahinya memancarkan sinar. Pernah diuji kesaktian oleh kakaknya yang
bernama Kyayi Anglurah Rangwang. Kepada adiknya (Kyayi Ketut Bendesa)
diminta untuk menebang dahan ranting pohon beringin yang angker dan
tumbuh disebelah Puri. Atas tugas yang sukses dilaksanakan, Kyayi Ketut
Bendesa diberi julukan Kyayi Notor Wandira.

Berdasarkan
anugrah pentunjuk Ida Batari Ulun Danu, Kyayi Ketut Bendesa bersama
seorang istri dan seorang putranya bernama Kyayi Gde Raka serta
pengiring setianya Ki Tambyak menuju Puri Tegeh Kori di Badung untuk
mengabdikan dirinya. Atas pengabdiannya yang setia, maka dia menjadi
putra angkat dan diberi nama Kyayi Nyoman Tegeh dan dipersaudarakan dengan kedua putra kandungnya yang bernama Kyayi Wayan Tegeh dan Kyayi Made Tegeh,
yang selanjutnya Kyayi Ketut Bendesa / Kyayi Nyoman Tegeh ( Kyayi Notor
Wandira ) membuat puri di sebelah timur Tukad Badung, Karena letak Puri
dikelilingi oleh aliran Tukad Badung, maka puri tersebut dinamakan “Puri Alang Badung”

1.8) Kyayi Gede Raka (Kyayi Jambe Pule)
Dikisahkan perang tanding Kayayi Ngurah
Janggaran melawan Kyayi Gede Raka berlangsung lama dan tidak ada kalah.
Keduanya sama-sama menderita luka. Akan tetapi setelah Kyayi Ngurah
Janggaran mengetahui Kyayi Gede Raka mampu menyembuhkan lukanya sendiri,
maka Kyayi Ngurah Janggaran dengan jujur menyatakan dirinya kalah.
Pernyataan itu mengakhiri perang tanding dengan kemenangan Kyayi Gede
Raka. Namun bekas luka menyebabkan kulit Kyayi Gede Raka yang sembuh
mengkerut seperti kayu pule maka Dalem memberi nama kehormatan kepada Kyayi Gede Raka dengan gelar Kyayi Jambe Pule.
Kyayi Jambe Pule mempunyai tiga istri. Permaisuri pertama bernama Istri Jambe Harum melahirkan seorang putra bernama “Kyayi Ngurah Jambe Mehik / Merik” yang tetap berada di Puri Alang Badung dan seorang putri bernama Ni Gusti Ayu Made Jambe kawin dengan Dalem Dimade dan melahirkan seorang putra bernama Dewa Agung Jambe “peletak dasar Kerajaan Klungkung”. Istri kedua dari “Penataran” melahirkan seorang putra bernama Kyayi Ngurah Pemedilan atau Kyayi Ngurah Pemecutan dan membangun Puri Pemecutan.

Kehadiran tiga kekuasaan bersaudara yang baru ini, di Puri Alang Badung, Puri Pamecutan dan Puri Gelogor mengkhawatirkan
penguasa lama di daerah Badung yaitu Kyai Tegeh Kori di Puri
Tegal. Kyai Tegeh Kori berkeyakinan bahwa ketiga kekuatan itu lebih
mendapat perhatian dan kepercayaan dari pemerintah pusat di Kraton Sweca Linngarsapura Gelgel. Hal ini beralasan karena ketiga bersaudara itu adalah “ipar” dari penguasa Bali Dalem Di Made.
Untuk mencegah kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul maka Kyai Tegeh Kori mempertunangkan
seorang putrinya dengan Kyayi Jambe Mihik (Merik) di Puri Alang Badung.
Akan tetapi sesudah pertunangan disahkan, Kyai Tegeh Kori berubah
pikiran lantaran kehadiran lamaran penguasa Kyai Ngurah Agung di Puri Jero Gede Pupuan Mengwi (Raja Purana Kenceng Mengwi, Gora Sirikan, II).

Akan tetapi sebelum gerakan laskar Jambe Pule sampai
di Puri Tegal, Kyai Tegeh Kori sudah lebih dahulu meninggalkan Purinya
untuk mengungsi ke Mengwi. Dari Mengwi kemudian beralih dan menetap di
Desa Tegal Tamu. Akibat lebih jauh seluruh daerah Badung jatuh dibawah kekuasaan Kyayi Jambe Pule di Puri Alang Badung.
Berkat kerjasama Kyayi Jambe Pule
beserta ketiga putra-putranya maka dapat dikatakan Kerajaan Badung mulai
berdiri diatas kekuatannya sendiri.
Kedaulatan Kerajaan Badung dapat dibuktikan dari keberaniannya menentang kekuasaan di Gelgel terutama setelah dikendalikan oleh Kyai Agung Di Made (Maruti,
1651–1677). Keberanian Kerajaan Badung menentang kekuasaan di Gelgel
terbukti dari kebebasannya bertindak mengadakan hubungan langsung dengan
persekutuan dagang kompeni (VOC) bangsa Belanda tanpa berunding
terlebih dahulu dengan kekuasaan di Gelgel.
Kerajaan Badung sudah memberi ijin
kepada kompeni (VOC) Belanda mendirikan sebuah kantor dagang di
pelabuhan Kuta pada tahun 1660. Kantor dagang VOC itu berfungsi untuk
menaikkan hasil bumi yang dibeli dari Bali dan juga untuk perdagangan
budak yang banyak memberi keuntungan bagi kompeni pada abad ke- 17 – 18
(Gora Sirikan, II).
1.9) Kyayi Jambe Merik => Awal mulainya kekuasaan Dinasti keJambean di Badung
Setelah
Kyayi Jambe pule wafat, maka kekuasaan Kerajaan Badung diberikan kepada
putranya yang bernama Kyayi Jambe Merik (ber’ibu dari putri Kyayi
pucangan yang bernama Jambe Harum). Kyayi Jambe Merik dalam menjalankan
Kekuasaannya dibantu oleh 2 saudara yang lain yaitu Kyayi Macan Gading dan Kyayi Ngurah Gelogor. Kyayi Jambe Merik tetap memusatkan pemerintahannya di Puri Alang Badung,

1.10) Kyayi Jambe Ketewel
Kekuasaan Kyayi Jambe merik dilanjutkan
oleh putranya yakni Kyayi jambe Ketewel, Kyayi Jambe Ketewel memiliki
putra: Kyayi Jambe Tangkeban, Kyayi dangin, Kyayi tangeb, Kyayi Nyoman
Jematang, Kyayi Made titih, Kyayi Lelangon, Kyayi Tatasan, dan Kyayi
gede Bangas. Suasana di kerajaan Badung saatu itu berjalan dengan damai.
1.11) Kyayi jambe tangkeban
Kekuasaan Kyayi Jambe Ketewel
selanjutnya di berikan kepada Kyayi Jambe Tangkeban. Kyayi Jambe
Tangkeban memiliki putra yaitu Kyayi Jambe Aaji, Kyayi Ketut Kebon,
Kyayi Kunang, Kyayi Dangin Kakangetan, dan Kyayi Gede Penataran.
1.12) Kyayi Jambe Aaji ( Kyayi Jambe Aeng ) => Mendirikan Puri Ksatria tahun 1750
Kekuasaan Kyayi Jambe Tangkeban Selanjutnya diberikan kepada putranya yang bernama Kyayi Jambe Aaji.
Pada masa pemerintahan Kyayi Jambe Aaji saat itu, air Sungai Tukad
Badung yang mengelilingi arial Puri Alang Badung selalu naik sehingga
sering kali Puri Alang Badung Kebanjiran. Melihat keadaan yang terus
menerus seperti itu, maka Kyayi Jambe Haji memerintahkan untuk membangun
Puri baru di daerah Satriya,
Puri ini kelak dinamakan Puri Ksatriya. Puri yang dibangun ini sangat besar dan megah (Aeng), sehingga Kyayi Jambe Haji disebut Pula dengan Kyayi Jambe Aeng. Pemindahan Puri (pusat Pemerintahan Kerajaan badung) tersebut dilaksanakan pada tahun 1750.

(Babad dalem milik Puri Sukawati).
“Puri tersebut terletak di sebelah barat Pura Pedharman Agung Ksatria”.
1.13) Kyayi Jambe Ksatriya
Selanjutnya kekuasaan
Kyayi Jambe Haji / Kyayi Jambe Aeng di berikan kepada putranya yang
bernama Kyayi Jambe Ksatriya. Pada Masa Pemerintahannya Kyayi jambe
Ksatriya sangatlah lemah dalam hal mengendalikan pemerintahan.
Kelemahan
kekuasaan inilah dimanfaatkan oleh saudaranya dari Puri Kaleran Kawan
(keturunan dari Kyayi Macan Gading) yang bernama Kyayi Ngurah Rai Pemecutan.
sebelum melaksanakan niatnya tersebut beliau terlebih dahulu melakukan
perundingan dengan “Dewa Manggis” (Raja di Kerajaan Gianyar). Raja
Gianyar Sanggup membantu usaha Kyayi Ngurah Rai Pemecutan, dan untuk
melaksanakan niatnya itu beliau sengaja mencari alasan agar terjadi
perselisihan dengan Raja Kyayi Jambe Ksatriya tersebut, dan upaya itupun
berhasil yang mengakibatkan Puri Ksatriya dikepung oleh Laskar dari
Kyayi Ngurah Rai Pemecutan yang dibantu Laskar dari Kerajaan Gianyar dan
langsung melakukan “kudeta” hingga menyebabkan Kyayi Jambe Ksatriya wafat.
Sebelum Kyayi Jambe Ksatriya wafat, belau memberi “bhisama” atau keputusan kepada Kyayi Ngurah Rai Pemecutan “bahwa kelak
yang menggantikan belau sebagai Raja Badung bukanlah Kyayi Ngurah Rai
Pemecutan, tetapi kakaknya yang bernama Kyayi Ngurah Made”. Bhisama selanjutnya “Kyayi Ngurah Made agar menikahi istri dari Kyayi Jambe Ksatriya” yang waktu itu sudah mengandung (mobot), “setelah
menikah dengan istri Kyayi Jambe Ksatriya maka Kyayi Ngurah Made tidak
boleh menggauli istri Kyayi Jambe Kstariya tersebut”. “Bila
kelak istri Kyayi Jambe Ksatriya melahirkan dan putra yang lahir adalah
laki-laki maka bayi yang lahir inilah yang akan meneruskan kekuasaan
sebagai Raja Badung selanjutnya”.
Diceritakan,
Kekuasaan Puri Ksatriya jatuh dibawah genggaman Kyayi Ngurah Made,
sebagai penerima “tahta” dari Kyayi Ngurah Jambe Ksatriya yang telah
tewas tersebut. Oleh Karena Puri Ksatriya nan megah itu rusak maka pada
masa kekuasaan Kyayi Ngurah Made, beliau memerintahkan untuk membuat
puri baru yang letaknya di tetamanan “den-pasar”, yang berada di sebelah
selatan Puri Ksatriya dan juga sebelah utara pasar yang selanjutnya di
sebut dengan Puri Denpasar. Pada tahun 1788 Puri Agung Denpasar secara resmi digunakan sebagai pusat Kerajaan Badung dan beliau berhak menggunakan gelar seorang Raja yaitu “I Gusti Ngurah Made Pemecutan” mengingat keturunan beliau dari trah Pemecutan (1788-1813). Serta beliau melantik diri sebagai Raja Denpasar Pertama.
Sementara itu untuk menepati janji Kyayi
Ngurah Rai Pemecutan terhadap Raja Gianyar yang telah membantunya, maka
Raja I Gusti Ngurah Made Pemecutan / Raja Denpasar I, menyerahkan desa
Batubulan untuk menjadi wilayah Kerajaan Gianyar.

Keadaan demikian itu membuat Raja
Buleleng pada masa itupun merasa tidak senang, karena tradisi, wilayah
Jembrana berada dibawah pengaruh Kerajaan Buleleng. Akhirnya pada tahun
1818 wilayah jembrana direbut oleh Kerajaan Buleleng yang penyerangannya
dipimpin oleh “Gusti Nyoman Jelantik” dan Kapten Patini dengan
laskar Bugisnya pun gugur dalam pertempuran itu sehingga wilayah
Jembrana ditempatkan di bawah hegemoni Buleleng (Utrecht, 1962:101).
Tercatat juga dalam masanya sebelum
beliau wafat, beliau pernah membuat kontrak kerja sama dengan pihak
Belanda yang diwakili oleh Kapten Kavaleri “Van der Walh” di Puri Agung Denpasar.
Pada Tahun 1810, I Gusti Ngurah Made Pamecutan membagi daerah kekuasaannya kepada dua orang putranya yaitu I Gusti Gede Ngurah (Jambe) dan I Gusti Gede Kesiman sebelum dia wafat pada tahun 1813. Takhta di Puri Agung Denpasar pun diwariskan kepada anaknya dari istri “Jambe” I Gusti Gede Ngurah dan setelah dinobatkan bergelar I Gusti Ngurah Jambe, sebagai Raja Denpasar II
I Gusti Ngurah Made Pemecutan mewariskan Kerajaan Badung kepada sang putra mahkota “I Gusti Gede Ngurah Pemecutan” yang
ber’ibu dari janda Kyayi Jambe Ksatriya. Dengan adanya perkawinan
antara I Gusti Ngurah Made Pemecutan dengan istri Kyayi Jambe Ksatriya,
maka putra yang lahir dari perkawinan tersebut secara hukum beliau
adalah pemecutan, namun secara biologis beliau adalah Jambe. Mulai pada
masa inilah dikenal istilah “Jambe Pemecutan”. Pusat Pemerintahan tetap di Puri Agung Denpasar dan I Gusti Gede Ngurah Pemecutan pun diangkat sebagai Raja Denpasar II.
Pada masa Pemerintahan beliau, Kerajaan
Mengwi pernah menyerang Badung pada tahun 1817, akan tetapi serangan
tersebut dapat digagalkan. Masa Pemerintahan I Gusti Gede Ngurah
Pemecutan, suasana di Kerajaan Badung aman dan teratur, tidak
diceritakan akhir kehidupan beliau, tetapi disebutkan bahwa beliau
meninggalkan putra mahkota yang masih kecil yang bernama “I Gusti Made Ngurah Pemecutan”
Pada
tahun 1817, I Gusti Gede Ngurah Pemecutan / Raja Denpsar II wafat,
sesuai dengan tradisi, maka beliau seharusnya digantikan oleh putra
mahkota yakni I Gusti Made Ngurah Pemecutan. Namun karena pada saat itu
putra mahkota masih kecil / di bawah umur. Atas persetujuan Persamuan
Agung Kerajaan, disepakati untuk mengangkat pamannya yang sudah
bertempat tinggal di Puri Gede Kesiman, yaitu I Gusti Agung Gede Kesiman untuk menjadi Wali Raja, beliau bergelar “I Gusti Gede Ngurah Kesiman”
Diceritakan
bahwa I Gusti Made Ngurah Pemecutan sudah dewasa dan sudah siap
menerima tanggung jawab sebagai raja. Maka beralihlah pusat pemerintahan
kerajaan Badung dari Puri Kesiman ke Puri Denpasar.
Dalam masa pemerintahannya, I Gusti Made
Ngurah Pemecutan sebagai Raja Denpasar III menjalankan politik
memperkuat kedudukan Puri Agung Denpasar dan sekaligus mempererat
kekeluargaan dalam lingkungan Pasemetonan Puri Agung Denpasar. Dalam
kaitan tersebut beliau berkenan memberikan izin perkawinan antara para
putri Puri Agung Denpasar dengan para putra dari Panglingsir Puri dalam
lingkungan Pasemetonan Puri Agung Denpasar, dengan cara “katrimen” (pemberian dari Puri Agung Denpasar).
Di samping itu beliau lebih memfungsikan
keberadaan lembaga “Manca Agung”, yaitu 5 puri besar di lingkungan Puri
Agung Denpasar yang terdiri dari Puri Kaleran Kawan, Puri Kaleran
Kangin, Puri Tegal, Puri Oka, dan Puri Jero Kuta.
Setelah wafat beliau diberikan sebutan Bhatara Mur Ring Galungan, karena beliau meniggal bertepatan dengan Hari Raya Galungan.
2.4) I Gusti Gede Ngurah Pemecutan / Raja Denpasar IV (1829 – 1848)

Pada masa pemerintahan Raja Denpasar IV,
perkembangan perdagangan di Kuta semakin ramai terutama karena
bermukimnya seorang pedagang asing berkebangsaan Denmark yang bernama Mads Lange /
Tuan Lange di Kuta, atas seijin Raja Denpasar pada tahun 1839.
Disamping sebagai pedagang, Tuan Lange juga mendapat kepercayaan dari
Raja Denpasar sebagai Syahbandar di Pelabuhan Kuta.

I Gusti Gede Ngurah Pemecutan / Raja Denpasar IV setelah wafat diberikan gelar kehormatan “Bhatara Hinggas”.
2.5) I Gusti Alit Ngurah Pemecutan / Raja Denpasar V (1848 – 1902)

Pada
tahun 1902, terjadi suatu peristiwa yang sangat menyedihkan yang
menimpa keluarga Puri Agung Denpasar, dimana I Gusti Alit Ngurah
Pemecutan / Raja Denpasar V “wafat” karena dibunuh dengan racun oleh
seorang balian dari Tumbak Bayuh Badung, atas perintah I Gusti Ayu
Riris. Beliau merupakan istri dari I Gusti Ngurah Made Agung yang
merupakan adik tiri dari Raja Denpasar V. Perbuatan keji tersebut
akhirnya berakhir dengan dihukumnya I Gusti Ayu Riris dengan cara (kalebok) di daerah Serangan.
Setelah wafat, I Gusti Alit Ngurah
Pemecutan diberi nama kehormatan yakni “Bhatara Basmi”, karena beliau
di-abukan (diadakan pebasmian/diaben) di dalam puri tanggal 19 September
1906, sehari menjelang Perang Puputan Badung.
2.6) I Gusti Ngurah Made Agung / Raja Denpasar VI (1902 – 1906)
Setelah
wafatnya I Gusti Alit Ngurah Pemecutan, sebenarnya yang berhak sebagai
penggantikan mendiang Raja Denpasar V adalah I Gusti Alit Ngurah yang
merupakan putra mahkota dari Raja Denpasar V, akan tetapi karena umur
beliau (putra mahkota) baru berusia 6 tahun dan belum cukup umur untuk
dinobatkan sebagai Raja, maka untuk sementara jabatan Raja dipegang oleh
I Gusti Ngurah Made Agung yang merupakan adik tiri Raja Denpasar V.

Dari catatan berbagai sumber sejarah
yang ada, semasa muda Raja Denpasar VI, diisi dengan ketekunan beliau
berguru pada seorang pendeta yang juga sebagai Bhagawanta Puri Agung
Denpasar dari Griya Sindu, Sanur. Di sana beliau belajar tentang agama,
filsafat, etika, sastra dan juga belajar tentang bahasa Jawa dari orang
Jawa (Solo).
Dalam pergaulannya, beliau juga dikenal
setia dengan teman-temannya. Salah satu teman dekat yang selalu beliau
ajak pulang pergi, ke Puri Agung Denpasar adalah seorang brahmana yang
bernama Ida Ketut Aseman, dari Griya Taman Intaran, Sanur. Teman beliau
ini setelah medwijati kewikon menjadi pendeta dikenal dengan
nama Ida Pedanda Made Sidemen yang sangat bersahaja dan karya-karyanya
sangat bermutu dalam kehidupan susastra di Bali. Dapat dipahami bahwa
dari cara hidup beliau yang rajin, tekun dan bersungguh-sungguh itu,
telah menjadikan I Gusti Ngurah Made Agung seorang yang mampu memimpin
dan bekerja dalam naungan sastra, sehingga memiliki wawasan dan
pemikiran yang luas, bersikap jujur dan berani dalam menghadapi
tantangan hidup.
Selanjutnya
dikisahkan bahwa pada tahun 1906, I Gusti Ngurah Made Agung yang
merupakan Raja Denpasar VI “gugur” dalam pertempuran melawan tentara
ekspedisi kolonial Hindia Belanda pada tanggal 20 September 1906,
sekitar pukul 12.00 siang, di depan Pura Satria bersama ribuan rakyat
Badung serta sanak keluarga Puri dengan memakai balutan kain serba putih
dan membawa senjata sederhana.
Tentara kolonial Hindia Belanda akhirnya
dapat memasuki Puri Agung Denpasar yang telah terbakar dan menyisakan
tembok-tembok penyengker Puri. Sekitar pukul 13.00 siang, pasukan
Belanda akhirnya menduduki Puri Agung Denpasar, dan dilanjutkan
penyerangan ke Puri Agung Pemecutan sekitar pukul 15.00 menjelang sore.
Akhirnya
puri-puri mulai dari benteng terdepan yakni Puri Gede Kesiman, Puri
Agung Denpasar dan terakhir Puri Agung Pemecutan, manca-manca Puri
beserta Griya, Jero-Jero dan sebagainya di Kerajaan Badung, berhasil
dilumpuhkan oleh pasukan Belanda.
Ribuan
mayat dari Kerajaan Badung pun tewas, meski di beritakan laskar
Kerajaan Badung sebagian sudah memiliki senjata modern berupa bedil dan beberapa meriam kecil (lila)
hasil perdagangan dengan Singapura itu juga belum mampu menandingi
pasukan belanda yang sudah prefesional dalam persenjataan dan teknik
penggunaannya.
Lain cerita dikabarkan pula bahwa
sebelum terjadi puputan, sang putra mahkota dari Raja Denpasar V bernama
I Gusti Alit Ngurah yang usianya sudah menginjak10 tahun, terlebih
dahulu di larikan oleh beberapa laskar khusus pengawal kerajaan,
didampingi ibunya serta beberapa sanak keluarga dekat puri, pergi ke
daerah barat tepatnya di Desa Seminyak Kuta.
Pada tanggal 17 Januari 1907, I Gusti
Alit Ngurah pun di tangkap dan menjadi tawanan perang. Beliau diasingkan
ke Mataram Lombok oleh Pemerintah Hindia Belanda.
2.7) Tjokorda Alit Ngurah / Raja Denpasar VII (1929-1965 dibawah kuasa bangsa Belanda)
Cokorda Alit Ngurah di abhiseka sebagai
Raja Denpasar VII di Pura Besakih bersama dengan raja-raja Asta Negara
lainnya. Sebelumnya beliau bernama I Gusti Alit Ngurah, lahir di Puri
Agung Denpasar pada tanggal 31 Desember 1896 tepatnya pada hari Kamis
Umanis wuku Gumbreg. Ayahnya adalah Raja Denpasar V yang bernama I Gusti
Alit Ngurah Pemecutan dan juga disebut dengan nama I Gusti Gede Ngurah
Denpasar, sedangkan ibunya bernama Gusti Ayu Ketut Ngurah dari Puri
Serongga Gianyar.
Pada masa kecilnya Cokorda Alit Ngurah
dibesarkan di Puri Agung Denpasar pada waktu sebelum terjadi puputan,
dengan di dampingi dan diasuh oleh ibunya beserta kerabat puri lainnya.
Disamping pamannya I Gusti Ngurah Made Agung yang menjabat sebagai Raja
Denpasar VI dan gugur juga dalam perang Puputan Badung 1906. Siatuasi
dan pengalaman hidup dan didikan dari pamannya yang merupakan Raja
Denpasar VI, telah berdampak pada sifat, watak serta perkembangan
karakter I Gusti Alit Ngurah. Hal ini tampak jelas dari kegemaran beliau
terhadap sastra dan membaca lontar dari sejak kecil.
Pada saat terjadi perang puputan Badung,
I Gusti Alit Ngurah selamat dari korban puputan karena diungsikan
terlebih dahulu, pada usia beliau yang berumur 10 tahun dan pada tanggal
17 Januari 1907, I Gusti Alit Ngurah selaku putra mahkota Raja Denpasar
V akhirnya ditawan dan dibuang ke Lombok oleh Pemerintah Kolonial
Belanda. Setibanya di Lombok beliau beserta rombongan di tempatkan di
Taman Mayura, Cakranegara, Lombok Barat yang merupakan lingkungan
orang-orang Bali. Beberapa bulan setelah beliau berada di Lombok
menyusul kemudian I Gede Cager dari banjar Taensiat, I Gobleg dari
wangaya kelod, Dayu Made Tombong dari Serongga. Di Lombok beliau
mengikuti pedidikan pada sekolah rakyat yang dapat diselesaikan tepat
waktunya. Disamping itu kegemaran membaca lontar juga beliau teruskan
dengan bimbingan dari Ida Pedanda Ketut Kelingan dari Griya Sinduwati,
Cakranegara, Mataram, Lombok. Selain itu diasrama Cakranegara I Gusti
Alit Ngurah berkenalan juga dengan tawanan dari berbagai daerah yang
secara psikologis mempengaruhi pula karakternya.
Setelah mengalami pengasingan selama
lebih kurang 10tahun, pada tanggal 1 Oktober 1917 atas desakan
tokoh-tokoh masyarakat di Lombok seperti I Gusti Putu Griya dan Ida
Pedanda Ketut Kelingan serta desakan masyarakat Badung, I Gusti Alit
Ngurah akhirnya dikembalikan oleh pemerintah Belanda ke Badung, selain
itu juga karena keamanan di Bali sudah relatif aman dan tidak ada
tanda-tanda akan terjadinya pemberontakan.
Setelah berada di Badung beliau di pekerjakan dibeberapa instansi pemerintahan kolonial seperti dipercayai bertugas di kantor Bouw Werkplaats (Kantor
PU) dengan tugas sebagai mandor untuk mengurusi pembuatan jalan dan
prasarana lainnya pada tahun 1918, setelah dua tahun menjadi mandor
karena dilihat dari ketekunan beliau dalam bekerja akhirnya pemerintah
Belanda mengangkat beliau sebagai Juru Tulis di kantor Asisten Residen
dengan tugas mencatat semua hasil perkara yang pernah ditangani
pengadilan dengan gaji £20 (1920-1924). Dan hanya beberapa tahun saja
jabatan beliau diangkat menjadi Mantri Polisi dan ditempatkan di
Carangsari dengan gaji £50. Berdasarkan besluit No.836, tanggal 1926 I
Gusti Alit Ngurah diangkat sebagai Sedahan Agung Badung di Denpasar.
Disiplin serta ketekunan beliau dalam bekerja dan karena pengabdian
beliau yang sudah cukup lama untuk menguji kesetian terhadap pemerintah
Belanda, munculah surat Besluit Hoofd van het Kantoor van Reiswezen ddo; 27 Juli No. 1512, yang menjadikan beliau sebagai Regent di daerah (landschap) Badung dengan title Cokorda dengan gaji sebesar £800 serta uang jalan £125.
Setelah kembali dari pengasingan I Gusti
Alit Ngurah tidak tinggal di Puri Agung Denpasar, melainkan tinggal di
Jero Belaluan, karena Puri beliau yang sudah jatuh ketangan Belanda dan
dijadikan sebagai kantor Pemerintahan wilayah Bali Selatan. Selama
belasan tahun bekerja pada pemerintahan Belanda, beliau pada saat
diangkat menjadi Regent, I Gusti Alit Ngurah belum mempunyai Puri yang
sesuai dengan kedudukan beliau. Akhirnya pada tahun 1928 beliau mulai
merintis pendirian Puri Denpasar yang baru di daerah Satria,
sehingga masyarakat sering menyebutnya sebagai “Puri Satria” yang juga
berada tepat di depan Pura Pedharman Agung Satria Denpasar. Sampai saat
ini pun Puri masih berdiri dengan kokoh dan banyak sekali penambahan
bangunan di lingkungan puri, tetapi bangunan yang belau jadikan kantor
serta wantilan tempat menyambut tamu dan masyarakat, sama sekali tidak
mengalami perubahan dan tetap dirawat oleh keluarga Puri Agung Denpasar
sampai saat ini.

Pemelihan kepala daerah tersebut masih
dominan didasarkan atas keturunan Raja atau dari keluarga raja
sebelumnya. Sehubungan dengan hal tersebut maka untuk Zelbestuuder
badung dipegang oleh I Gusti Alit Ngurah dari Puri Agung Denpasar
(satria) dengan gelar Cokorda Alit Ngurah. Peresmian dan Pengangkatan
(Abhiseka) beliau dilakukan serentak dengan 8 Zelbestuuder lainya yang
diambil sumpahnya di Pura Besakih pada tanggal 30 Juni 1938. Peresmian
dan pengangkatan ini dilakukan oleh Residen L.J.J. Caron. Dalam hubungan
ini terlihat bahwa Pemerintah Belanda masih tetap memegang posisi
kendali diatasnya.
AWAL DAN AKHIR PENDUDUKAN JEPANG & MASA TERBENTUKNYA KEDAULATAN NKRI
2.8) Tjokorda Ngurah Agung / Raja Denpasar VIII ( wafat pada 5 Juli 1998 )
Cokorda Ngurah Agung adalah putra
laki-laki pertama dari Ida Cokorda Alit Ngurah, Raja Kerajaan Badung
yang wafat pada tahun 1965. Ida Cokorda Ngurah Agung lahir pada tahun
1917 dari seorang ibu yang bernama Anak Agung Sagung Oka dari Puri
Belaluan, Setelah menyelesaikan pendidikan di HIS (Hollandch Indische School),
beliau melanjutkan pendidikan sekolah MULO di Yogyakarta dan sekolah
MOSVIA di Magelang. Tahun 1941 Cokorda Ngurah Agung meninggalkan
sekolah, kemudian memasuki dunia militer di tahun 1942. Beliau kembali
ke Bali saat meletusnya Perang Dunia II, ketika Jepang mulai bercokol di
Pulau Bali.
Dalam gerak langkah berikutnya, selain
membantu ayah beliau dalam pemerintahan, beliau juga menjabat sebagai
Wakil Ketua Pemuda Rakyat Republik Indonesia dan bersama-sama para
Pemuda Pejuang, turut mendirikan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Bali
yang pusatnya bermarkas di Puri Denpasar (Puri Satria). Selanjutnya
bersama-sama para pemuda pejuang lainnya dan atas kesepakatan, bersama I
Gusti Putu Merta beliau mendirikan PARRINDO pada tanggal 4 Desember
1946.
Pada tahun 1948 setelah diperiksa oleh Controleur Karangasem,
beliau dikeluarkan oleh tahanan asrama NICA dan selanjutnya beliau
ditampung di Puri Karangasem selama lebih kurang tiga bulan. Kemudian
Cokorda Ngurah Agung dijemput oleh Ngurah Konta dan dibawa kembali ke
Denpasar, tepatnya pada April 1948. Namun, tidak berselang lama, ada
instruksi agar Cokorda Ngurah Agung segera menghadap ke Kantor Dewan
Raja-raja.
Berdasarkan pertimbangan politis,
akhirnya Cokorda Ngurah Agung dipindahkan ke Singaraja dengan status
sebagai Tahanan kota. Namun demikian beliau tetap dianggap membahayakan
kedudukan NICA di Buleleng. Akhirnya beliau dipindahkan lagi ke
Denpasar, pada saat beliau berada di Kota Singaraja, pada bulan Maret
1950 beliau juga berperan serta dalam pendirian Partai Nasional
Indonesia (PNI). Dari sini dapat diketahui dengan nyata bahwa pengabdian
Cokorda Ngurah Agung yang merupakan putra dari Ida Cokorda Alit Ngurah
ini dalam menyongsong dan mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia sangatlah tinggi.
Sebagai buah perjuangan yang positif dan
terpandang oleh Rakyat Badung, maka setelah tercapainya Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Ida Cokorda Ngurah Agung diangkat sebagai Dewan
Pemerintahan Swapraja Badung.
Pada tanggal 29 April 1998 dalam usia 81
tahun, yang karena sakit, akhirnya Ida Cokorda Ngurah Agung wafat.
Beliau diupacarakan dengan Adat Kebesaran Raja-raja di Badung dan
upacara penghormatan Veteran pada tanggal 5 Juli 1998.
2.9) Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan, SH / Raja Denpasar IX (2005 – sekarang)

Setelah dinobatkan sebagai Raja Denpasar IX tanggal 25 Nopember 2005, beliau bergelar sebagai Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan, sedangkan istri beliau sebagai dampati bergelar Anak Agung Ayu Oka Pemecutan. Semua rangkaian Upacara Penobatan Raja (Abhiseka Ratu)
yang merupakan wujud serta pengejawantahan Warisan Budaya Leluhur yang
harus dilestarikan, sehingga sangat jauh dari urusan serta masalah
ketatanegaraan.
DAFTAR PUSTAKA :
- A.A BAGUS WIRAWAN, 2011, SEJARAH KOTA DENPASAR : Dari Kota Keraton Menjadi Kota ( 1788 – 2010 ), Badan Perencanaan Pembangunan Daerah ( BAPPEDA ) KOTA DENPASAR DAN UNIVERSITAS UDAYANA
- Nengah Keddy Setiada, 2009, Penelusuran Kota Denpasar, BAPPEDA KOTA DENPASAR, CV.CIPTA
- RAJA PURANA, PURI AGUNG DENPASAR
- Slamat Trisila, 2012, Denpasar Tempo Dulu : Melacak Dinamika Kota Denpasar Berbasis Visual, Badan Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi
Comments
Post a Comment